ANAK JALANAN DAN HAK ASASI MANUSIA
(Makalah Kewarganegaraan)
Disusun
Oleh :
Ayisa
Ramadona
NPM.
1417011013
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehairat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kewarganegaraan dalam kehidupan
dapat dikaji melalui berbagai sudut
pandang. Baik
itu menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan maupun realitas sosial,politik, ekonomi danbudaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak
sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan
orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang kaitan Hak Asasi Manusia dan Hubungannya dengan
Karakter Bangsa, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Lampung. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
jau dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing
saya meminta masukannya demi perbaikan
pembuatan makalah saya di masa yang
akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Bandar Lampung, Juni 2015
Penyusun
Ayisa Ramadona
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berbicara
tentang dunia anak jalanan, terasa tiada habis-habisnya kisah yang bisa
diungkapkan. Sebagian besar adalah kisah-kisah duka yang kelam, menjadi catatan
sejarah hitam, tidak saja untuk anak-anak tersebut, tapi bagi kita semua yang
berhimpun di dalam suatu bangsa ataupun Negara.
Kehidupan
jalanan yang dialami oleh anak - anak yang terlantar merupakan suatu bentuk
tugas negara yang terbengkalai seperti yang ditunjukkan pada UUD 1945 Pasal 34
Ayat (1) yaitu, fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh negara. Dalam amanat UUD 1945 ini masih
saja diabaikan bahkan cenderung disepelekan. Bahkan beberapa tugas negara yang
telah menggembar gemborkan keberhasilan dalam meningkatkan taraf hidup
masyarakat belum terimplementasikan dengan baik.
Semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, semakin meningkat pula
pelanggaran HAM terhadap mereka. Indonesia
sebagai negara yang demokratis dan memiliki beragam kebudayaan,pada
kenyataannya senantiasa menjunjung dan menerapkan konsep penegakkan HAM dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD
1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus
dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban
dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut.
Diperlukan
penyelesaian terhadap permasalah yang krusial ini, karena hal ini bukan saja
merupakan masalah pribadi pelaku atau keluarga dari anak-anak jalanan tersebut,
tetapi sudah menjadi persoalan negara yang perlu di selesaikan atau
diminimalisir.
Pelanggaran
HAM terhadap anak jalanan di Indonesia saat ini, sudah merajarela di hampir
seluruh wilayah di Indonesia. Berbagai media massa, seringkali menampilkan
bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadapa anak jalanan yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas mengenai Hak Asasi Manusia terhadap
anak jalanan dan hubungannya dengan karakter bangsa.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Menurut
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sifat HAM
adalah universal, artinya berlaku untuk semua manusia tanpa membeda-bedakan
suku, ras, agama, dan bangsa (etnis). HAM harus ditegakkan demi menjamin
martabat manusia seutuhnya di seluruh dunia. Ada berbagai versi definisi mengenai
HAM. Setiap definisi menekankan pada segi-segi tertentu dari HAM. Berikut
beberapa definisi tersebut :
- HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak individual yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia. (David Beetham dan Kevin Boyle)
- HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Pasal 1 butir 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 1 butir 1 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia)
- HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hakhak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihapuskan. Hak asasi merupakan hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi manusia dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. (C. de Rover)
- HAM adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah. (Austin-Ranney)
- HAM adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia di segala masa dan di segala tempat karena keutamaan keberadaannya sebagai manusia. (A.J.M. Milne)
- HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia. (Franz Magnis- Suseno)
Hak asasi manusia memiliki ciri-ciri
khusus jika dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Ciri khusus hak asasi
manusia sebagai berikut :
- Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
- Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial, dan budaya.
- Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang sudah ada sejak lahir.
- Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya. Persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.
Hak asasi manusia, di pihak lain,
menimbulkan kewajiban-kewajiban asasi. Perbenturan kepentingan antara seseorang
dengan yang lain sering terjadi. Dalam penerapannya, hak asasi manusia tidak
dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat mengakibatkan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia itu sendiri (hak asasi orang lain). Anak
jalanan merupakan fenomena perkotaan yang kompleks dan terus meningkat
kuantitas dan kualitasnya. Fenomena permasalahan tersebut disebabkan berbagai
faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik ditambah dengan
nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, gaya hidup individualist
materialisiik, konsumeristik serta kebijakan pemerintah yang tidak saling
sinergi dan tidak berkoodinasi antar departemen (Hardius, Usman dan Nachrowi, 2004:
122).
Lingkungan perkotaan
yang kumuh juga membuat sebagian anak lari ke jalan. Merebaknya anak jalanan
juga diakibatkan oleh kegagalan sistem pendidikan yang cenderung kapitalislik,
tidak banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin dan marjinal.
Memang, kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota-kota
besar. Anak jalanan merupakan fenomena kota besar di mana saja Semakin cepat perkembangan
sebuah kota semakin cepat pula peningkatan jumlah anak jalanan (Huraerah,
2006:10).
Kaitan fenomena anak
jalanan dengan perkotaan adalah pada dinamika kota Negara Dunia Ketiga, yaitu
proses migrasi dan urbanisasi. Napoleon Hillper mendefinisikan, pekerja migran
adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan
kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif
menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal
dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan
urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari
globalisasi.
Pekerja migran internal
(dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja
di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan
penduduk umumnya dari desa ke kota (rural-to-urban migration), maka pekerja
migran internal seringkali diidentikan dengan "orang desa yang bekerja di
kota." Urbanisasi adalah ''proses pengkotaan" atau proses perubahan
suatu desa menjadi kota. Secara nasional, urbanisasi bisa dilihat dari proporsi
penduduk yang tinggal di perkotaan dan proporsi orang yang bekerja di sektor
non-pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1998, sebesar 31,5 persen penduduk
Indonesia tinggal di perkotaan dan sebanyak 49,2 persen bekerja di sektor
non-pertanian (Suharto, 2002:149).
Fenomena ini menunjuk
pada keadaan dimana pertumbuhan kota berjalan cepat namun tanpa diimbangi
dengan kesempatan kerja yang memadai, khususnya di sektor industri dan jasa.
Akibatnya, para migran yang berbondong-bondong meninggalkan desanya dan tanpa
bekal keahlian yang memadai tidak mampu terserap oleh sektor "modern"
perkotaan. Mereka kemudian bekerja di sektor informal perkotaan yang umumnya
ditandai oleh produktivitas rendah, upah rendah, kondisi kerja buruk, dan tanpa
jaminan sosial (Potter dan Lloyd-Evans, 1998).
Sejatinya, persoalan
utama pekerja migran internal terkait erat dengan kondisi sektor informal
perkotaan yang kerap disebut sebagai "underground economy" itu.
Sebagai contoh, mereka yang, bekerja sebagai pedagang kakilima kerap menghadapi
permasalahan seperti penggusuran, permodalan yang kecil, konflik dengan
penduduk setempat, konflik dengan pengguna lahan publik lain (pejalan kaki,
sopir angkutan kota, pemilik mobif pribadi, pemilik toko), dan konflik dengan
petugas keamanan.
Soeparman dalam bukunya
“pelecahan seksual” (2000: 7) menyatakan bahwa penyebab anak turun ke
jalan, yaitu:
- Fungsi keluarga yang tidak berjaian;
- Adanya penolakan dari masyarakat;
- Keengganan anak untuk pelang ke rumah karena lebih senang di jalanan;
- Tekanan kekerasan hidup di jalanan, sehingga mereka perlu cara supaya hidup lebih aman di jalanan;
- Peluang pekerjaan sector informal terus meningkat juga melibatkan partisipasi anak;
- Keberanian anak untuk hidup di jalanan dan terpisah dari orang tua;
- Tekanan di jalanan masih lebih baik dibandingkan dengan di rumah, karena di jalanan masih mernberikan kebebasan kepada anak;
- Kompensasi karena prustasi dengan kondisi masyarakat secara umum dan pelecehan yang diterima.
Pasal
yang memuat tentang HAK Anak
Pasal 28 b (ayat 2) UUD 1945 : Setiap orang berhak
ata skelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dan kekerasan dan diskriminasi.
Selain UUD 45, UU No 39
Tahun 1999, pasal 52-58 juga mengatur tentang hak anak. Adapun isinya adalah :
Pasal 52
(1)
Setiap anak
berhak atas perlindungan oleh orang tua keluarga masyarakat dan negara
(2)
Hak anak adalah
hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan
Pasal 53
(1)
Setiap anak sejak
dalam kandungan, berhak untuk hidup mempertahankan hidup dalam meningkatkan
taraf kehidupannya.
(2)
Setiap anak dalam
kehidupannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik atau
mental berhak memperoleh perawatan , pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus
atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat
kemanusiaan,meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat ,berbangsa daan bernegara.
Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamamu, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang
tua dan atau wali.
Pasal 56
(1)
Setiap anak
berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya.dibesarkan, dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri Dalam hal orang
tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara ankanya dengan baik dan sesuai
dengan undang-undang ini,maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai
anak oleh orang lain sesuai ketentuan peraturan perundang undangan .
Pasal 57
(1)
Setiap anak
berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing
kehidupannya oleh orangtua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan
peraturan perundang undaangan .
(2)
Setiap anak
berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan
pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu
sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi orang tua.
(3)
Orang tua angkat
atau wah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harusmenjalankan kewajiban sebagai
orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 58
(1)
Setiap anak
berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik
atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama
dalam pengasuhan orang
tua atau walinya,
ataiu pihak lain maupun yang
bertanggung jawab atas pengasuh
anak tersebut.
Tanggung jawab orang
tua terhadap kesejahteraan anak meliputi kesehatan, pendidikan, pembinaan atau
pembetukan kepribadian (Gosita,1991:21).
Upaya perlindungan
hukum bagi anak dapat di artikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of
children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang
sangat luas (Barda,1998:153).
III.
PEMBAHASAN
Anak-anak adalah masa
depan bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk
komunitas, bangsa, dan negaranya. Anak-anak adalah masa depan kemanusiaan,
tanpa anak, tidak ada masa depan bagi siapapun. Tidak memperhatikan kualitas
hidup anak sama artinya dengan tidak memperhatikan kelangsungan hidup keluarga.
Semua pihak
berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan dan, oleh
karena itu, masa depannya akan sangat diperdulikan. Indonesia menunjukkan
kenyataan pahit, sebagian dari anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk
kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003
sekretaris Jendral PBB menugaskan perwakilannya di seluruh dunia untuk
melakukan kajian mengenai kekerasan terhadap anak. Hasil yang dilaporkan pada
tahun 20062 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di
semua negara yang terlibat, anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti
hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang
berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain-
lain), diskriminasi, perkawinan dini, dan pornograf.
Di Indonesia pada tahun
2010 tercatat 40.000-70.000 anak telah menjadi korban Eksploitasi Seksual
Komersial Anak (ESKA). Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam perdagangan
seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung di pusat prostitusi, tempat
hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di Semarang,
Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi,
jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Jawa Barat
jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau sekitar 30
persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010). Mengacu kepada data
Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, ada 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan
diperdagangkan untuk tujuan seksual. 5 Data tesebut menunjukkan bahwa semakin maraknya
tindak pidana seksual komersial anak.
Medan tidak
ketinggalan, pelacuran anak sudah menjadi fenomena yang menyedihkan sejak lama,
bahkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Pelacuran anak di Medan banyak
terjadi di tempat-tempat billiard, taman bermain, di pusat-pusat perbelanjaan,
di cafe-cafe, di kos-kosan. Di Medan, jenis ESKA yang dialami anak adalah
pelacuran anak baik yang berstatus sebagai pelajar dan tidak berstatus sebagai
pelajar, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Hal yang paling mengejutkan
adalah banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dengan ESKA dan
terlibat transaksi seks dengan para Tebe atau tubang, sebutan bagi para
pelanggan mereka, dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam
41 diantaranya berstatus pelajar dan 9 diantaranya berstatus bukan pelajar.
Hubungan kuat lain
antara perilaku seksual remaja sekolah dengan dunia pendidikan adalah, alasan
yang digunakan para pelajar siswi yang melacurkan diri adalah alasan-alasan
sekolah. Teman yang diajak atau dilibatkan ke dunia Tubang juga masih mempunyai
kedekatan hubungan emosional yang diikat oleh kenyataan bersekolah di sekolah
yang sama. Modus operandi yang digunakan dalam menjebak anak-anak masuk ke
dalam dunia pelacuran, umumnya diajak oleh teman yang lebih dahulu masuk ke
dunia ini, lalu diperkenalkan dengan tamu atau tubang. Selanjutnya anak-anak
mencari tamu sendiri dengan cara ke diskotik, atau langsung menghubungi tamu
tersebut.
6 Pengaruh perkembangan
sosial mengharuskan setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu secara
rasional dan mendasar, agar setiap masalah yang timbul dalam masyarakat dapat
dipecahkan sebaik-baiknya, demikian pula halnya anak-anak adalah masa depan
keluarga dan bangsa,itu sebabnya semua orang tua berharap anak-anaknya bisa
mengangkat harkat dan martabat keluarga dan keluar dari himpitan ekonomi.
Berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti tepatnya pada Pusat Kajian
Perlindungan Anak bahwa banyak anak yang baru duduk di bangku SMA yang setiap
hari harusnya menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan menikmati masa
remajanya justru lebih memilih menyisihkan waktunya untuk mencari uang saku,
dengan berbekal lipstik, bedak, dan kondom serta tubuh yang molek menjadi aset
panting bagi anak remaja yang berkomitmen untuk mendapat uang demi materi
semata.
Anak-anak yang memiliki
orangtua sekalipun dapat diperjualbelikan dengan mudahnya sebagai PSK, hal ini
menjadi dilema bagi siapa saja khususnya orangtua. Begitu pula
pembangunan nasional yang telah memanjakan aspek ekonomi telah menimbulkan
dampak negatif, yang paling utama adalah munculnya sifat materialis dan
individualis, hal inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua
masyarakat. Secara formal, kita mengaku bangsa yang bermoral yaitu moral Pancasila.
Orang ramai-ramai memeriahkan slogan Pancasila, namun kenyatannya pada waktu
yang sama Pancasila dilecehkan begitu saja.Bangsa ini tidak dapat maju dengan
bermodalkan mental dan jiwa generasi yang hanya dihantui dengan keinginan dan
kepuasan materi yang sesaat.
7 Mental generasi bangsa yang semakin memburuk
menimbulkan akibat yang sangat meluas dan mencolok terutama dalam hal
terjadinya pengeksploitasian anak secara seks komersial. Seiring bergantinya
kepemimpinan presiden dan dengan perjalanan pembangunan yang selama lebih dari
setengah abad pembangunan nasional telah membuahkan hasil yang cukup
spektakuler, terutama dibidang ekonomi. Indonesia bahkan kini disebut-sebut
sebagai calon kuat “macan asia” mendatang.
Kekerasan sudah menjadi
bagian kehidupan yang tidak terpisahkan yang dialami oleh setiap anak jalanan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari bangun tidur sampai
tidur kembali kekerasan selalu menyertai mereka. Inilah yang disebut dengan
teori spiral kekerasan yang dikemukakan oleh Dom Helder Camara. Yang
menjelaskan tentang tiga lapisan kekerasan. Pertama, kekerasan ketidakadilan
akibat egoisme penguasa dan kelompok. Kedua, perjuangan keadilan lewat
kekerasan. Ketiga, kekerasan dari tindakan represi pemerintah.
Pada lapisan pertama
ini anak-anak jalanan selalu tidak dihargai oleh negara apalagi mendapatkan
keadilan yang setara dengan anak-anak lainnya. Mereka selalu dianggap sampah
masyarakat yang tidak berguna sehingga harus diperlakukan secara kasar dan
tidak manusiawi. Atas nama keindahan dan ketertiban kota sering sekali anak
jalanan menjadi tumbal atau objek kriminalisasi oleh aparatur negara yang
dilegitimasi oleh pengusa melalui berbagai peraturan.
Egoisme Inilah yang
memicu munculnya lapisan kedua di mana anak-anak jalanan melakukan perjuangan
keadilan. Biasanya korban kekerasan bisa didorong untuk melakukan kekerasan.
Sasaran kekerasan berupa simbol-simbol penguasa dan lain sebagainya. Lahirlah
beragam demo atau unjuk rasa yang kadang anarki. Demo itu tak bisa dibiarkan begitu
saja. Atas dalih stabilitas nasional, represi pemerintah berupaya memadamkan
demo. Represi itu bermuatan kekerasan. Begitulah seterusnya di mana kekerasan
akhirnya menjadi siklus dari sebuah ritme kehidupan anak jalanan.
1) Sifat
Psikologi Anak Jalanan
Anak jalanan
menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk ekspresi diri sekaligus
sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan oleh mereka
sekaligus menegaskan pertentangan dengan negara dan masyarakat sekitarnya. Tubuh
dijadikan sumber produksi dan aktivitas komunikasi dan menjadi lokasi
pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal ini membantu terjadinya
produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan tingkah laku yang
berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan mengejutkan kultur
dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya.
Ketika mulai tumbuh
lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan merupakan aspek yang vital bagi
anak-anak jalanan. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi menyusun konstruksi
kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain
serta mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial mereka dikategorikan
sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk kedewasaan
sebagai tanda pern ban gkanangan dari harapan-harapan yang ditentukan oleh
masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan oleh kaum dewasa
yang ada di sekitarnya, menenggak minuman keras, ngepil, judi serta menggemari seks
bebas.
Judi, misalnya,
merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal dan dimainkan di
tempat-lempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku menikmati permainan judi
karena nielibatkan resiko dalam pertaruhan, ketrampilan serta konsentrasi dan
bila memenangkan permainan, ada rasa bangga menempati posisi puncak dari hasil
permainan. Selain itujuga mendapatkan uang yang relatif banyak.
Seorang dewasa yang
sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika
dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti
disuruh. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari
indentitas pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil
terus.
- Faktor Penyebab Lahirnya Anak Jalanan
Ada
Penyebab Masalah Anak Jalanan:
1) Tingkat mikro, yaitu
faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya.
2) Tingkat messo, yaitu
faktor yang terjadi di masyarakat.
3) Tingkat makro, yaitu
faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat.
Pada tingkat mikro,
sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling berkaitan, tetapi
dapat juga berdiri sendiri, yaitu :
- Lari dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah / putus sekolah), berpetualang, bermain-main / diajak teman.
- Penyebab dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan / kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga, berpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang berakibat anak menghadapi masalah fisik, psikologis, dan social.
Pada tingkat messo, sebab yang dapat
diidentifikasi yaitu:
a)
Pada masyarakat miskin anak adalah asset untuk membantu
peningkatan ekonomi keluarga.
b)
Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan
anak-anaknya mengikuti.
c)
Pada masyarakat miskin anak adalah asset untuk membantu
peningkatan ekonomi keluarga.
Penolakan
masyarakat dan anggapan anak jalanan selalu melakukan tindakan tidakterpuji.
Pada
tingkat struktur masyarakat, penyebab yang dapat diidentifikasi adalah faktor :
·
Ekonomi, adanya peluang pekerjaan sektor
informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
·
Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi,
perilaku gurur yang diskriminatif.
·
Belum seragamnya unsur pemerintah memandang
anak jalanan, sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang
memerlukan perawatan, (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain
memandang anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan).
2)
Kaitan Dinamika Kota Dan Anak Jalanan
Sejatinya, persoalan
utama pekerja migran internal terkait erat dengan kondisi sektor informal
perkotaan yang kerap disebut sebagai "underground economy" itu.
Sebagai contoh, mereka yang, bekerja sebagai pedagang kakilima kerap menghadapi
permasalahan seperti penggusuran, permodalan yang kecil, konflik dengan
penduduk setempat, konflik dengan pengguna lahan publik lain (pejalan kaki,
sopir angkutan kota, pemilik mobif pribadi, pemilik toko), dan konflik dengan
petugas keamanan.
Persoalan lain yang
cukup serius mengenai pekerja migran ini adalah menyangkut fenomena
"pekerja migian anak-anak" yang meliputi anak jalanan, pekerja anak,
dan anak perempuan yang dilacurkan. Dalam laporannya, A Country Strategy for
Children and Women, 2001-2005, pemerintah Indonesia dan UN1CEF memperkirakan
jumlah pekerja anak sebesar 1,8 juta jiwa. Selain bekerja di sektor yang
berbahaya, mereka memiliki upah rendah, rawan eksploitasi dan perlakuan salah
(abuse), serta tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan
mobilitas sosial vertikal. Mereka kemungkinan besar terjebak dalam
"lingkaran kemiskinan" (vicious circle of poverty).
Selain itu, seperti;
kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru
menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya
melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi
kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin
terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru
perkotaan. Dari situasi kemiskinan ini munculah PKL, gelandangan, pengemis,
anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang
semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk
berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan
merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai
konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah). Dalam
kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran
tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota.
3)
Solusi Yang Relevan Untuk Mengatasi Makin Pesatnya Pertumbuhan Angka Keberadaan
Anak Jalanan
Sejauh ini terdapat
empat model penanganan anak jalanan dengan pendekatan yang berbeda:
Community Based adalah
model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada
fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhirnya adalah
anak tidak menjadi anak jalanan / sekalipun dijalan, mereka tetap berada
dilingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi: pelatihan peningkatan
pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, dan kesempatan
anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang.
Street Based adalah
kegiatan dijalanan atau penjangkauan penanganan terhadap anak langsung
dilakukan ditempat anak tersebut sering berada, kegiatan ini berupa pendamingan
terhadap anak agar mendapatkan perlindungan dari orang yang berperan sebagai
pengganti orang tuanya.
Centre Based adalah
kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah utus dengan keluarganya. panti
menjadi lembaga pengganti keluarga untuk dan memenuhi kebutuhan anak seperti
kesehatan, pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan tempat tinggal,
pekerjaan dan sebagainya.
Selther Based adalah
model pendekatan dengan menggunakan rumah singgah sebagai transit dari
aktifitas sehari-hari anak jalanan, rumah singgah umumnya sebagai sasaran
antara bagi anak untuk kembali diperkenalkan pada norma-norma keluarga.
4) Aspek Hukum Bagi
Anak Jalanan
·
Perlindungan Hukum
Bahwa yang dimaksud
dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak di dalam penelitian ini adalah
hak yang timbul pada anak ( anak jalanan ) untuk mendapatkan perlindungan (
protection rights ) yang hakiki dalam setiap kehidupannya dari Negara, dengan
demikian hak tersebut menimbulkan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh
Negara melalui perangkatnya yang bernama hukum agar tercipta tata kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang dapat melindungi hak-hak asasi
dari anak. Mengapa demikian, karena peneliti ingin terkotak dalam pemikiran
konvensional bahwa perlindungan hukum indentik dengan pernyataan bagaimana
hukum itu mampu melindungi dan mengatur kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat yang sangat beragam.
Bahkan sesuai dengan
yang dirumuskan Departemen Sosial Indonesia dalam petunjuk Teknis Pelaksanaan
Penyantunan dan Pengentasan Anak Melalui Panti Asuhan, maka fungsi dari
perlindungan hukum adalah untuk menghindarkan anak dari keterlambatan,
perlalakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua. Fungsi ini juga diserahkan
kepada keluarga dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengasuh anak dan
melindungi keluarga dari kemungkinan perpisahan.
Hal di atas harus
dibedakan dengan istilah perlindungan anak, karena hal ini tidak menunjukkan
dengan apa perlindungan itu akan ditegakkan. Sebagaimana pengertian
perlindungan anak itu sendiri yang tersebut di bawah ini :
- Perlindungan anak adalah segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
- Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
·
Instrumen Hukum
Instrumen hukum yang
mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak
Anak ( Convention on The Rights of The Child ) tahun 1989* (Convention on The
Right of The Child, UNICEF, 1990), telah di ratifikasi oleh lebih 191 negara.
Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun
1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi
hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga Negara Indonesia.
Konvensi Hak-hak anak
merupakan instrument hukum yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan
ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi hak anak merupakan sebuah
perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan
masing-masing hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak
budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai
berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga
peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin
penghormatan terhadap hak-hak anak.
Ketentuan hukum
mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap kelangsungan
hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup
berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara
berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa
dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya
perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).
Implementasinya dari
Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1)
melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan
pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan
gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi
ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan
pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan
kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga
berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional
yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait
dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk
mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak
untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak
(nama, kewarganegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup
bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala
bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang
bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh
perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya
dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai
dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya
dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala
perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak
anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan
latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat
kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar
kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).
2. Hak
terhadap perlindungan (protection rights)
Hak perlindungan yaitu
perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi
anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan
dari diskriminasi, termasuk perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh
pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan hak anak dari kelompok masyarakat
minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara.
Perlindungan dari
ekploitasi, meliputi perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, perlindungan
dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan
perkembangan anak, perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba,
perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi,
perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan perlindungan
dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran
hukum.
3. Hak
untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
Hak tumbuh berkembang
meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk
mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi
Hak Anak menyebutkan, negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan
menyediakan secara cuma-cuma, mendorong pengembangan macam-macam bentuk
pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, membuat imformasi dan
bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan mengambil langkah-langkah
untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka
putus sekolah.
4. Hak
untuk Berpartisipasi (participation rights)
Hak untuk
berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi hak untuk berpendapat
dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, hak untuk mendapat dan mengetahui
informasi serta untuk mengekpresikan, hak untuk berserikat menjalin hubungan
untuk bergabung, dan hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung
dari imformasi yang tidak sehat.
Terhadap anak yang
melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan
hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut
kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan
pencabutan kebebasan.
·
Pengentasan Anak Jalanan
Pengentasan anak
jalanan adalah usaha untuk memberikan bimbingan dan pembinaan baik fisik,
mental dan sosial kepada anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
Usaha pengentasan ini dapat dilakukan oleh Panti Asuhan, asuhan keluarga atau
pengangkatan anak. ( Pasal 6 Ayat 2 PP.No.2 Tahun 1998 ).
Pengentasan anak
ditujukan untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi social anak. Fungsi ini
mencakup suatu kombinasi dari berbagai keahlian teknik dan fasilitas-fasilitas
khusus yang ditujukan guna tercapainya pemeliharaan fisik, penyesuaian sosial
dan psikologis, penyuluhan dan bimbingan pribadi maupun kerja, latihan kerja
serta penempatannya.
Sebagai salah satu
upaya mencegah dan mengentaskan anak jalanan dari eksploitasi ekonomi adalah
dengan usaha mensejahterakan anak jalanan. Untuk itu berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Yang Mempunyai Masalah, terutama pada BAB II Pasal 2 menentukan bahwa :
- Usaha kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua.
- Pemerintah dan atau masyarakat melaksanakan usaha kesejahteraan anak dengan tujuan membantu mewujudkan kesejahteraan anak.
- Pemerintah mendorong, membimbing, membina masyarakat untuk berperan serta melaksanakan usaha kesejahteraan anak.
Usaha
kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditunjukan untuk
menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok
anak (Pasal 1 angka 1 huruf b UU. No.4 Tahun 1979). Pemerintah dalam hal ini
memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap usaha
kesejahteraan anak yang di lakukan oleh masyarakat.
Usaha-usaha
kesejahteraan anak sesuai PP No.2 Tahun 1988, adalah suatu proses
refungsionalisasi dan pengembangan anak, agar dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan
anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat ditujukan terutama kepada anak yang
mempunyai masalah antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan
terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah
kelakuan, (kategori tersebut terpenuhi dalam kehidupan anak-anak jalanan) dari
anak cacat. Usaha ini dimaksud memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan,
perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah khususnya kepada
anak-anak jalanan.
Pembinaan,
pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi dilaksanakan dalam bentuk asuhan,
bantuan dan pelayanan khusus. Asuhan ditujukan kepada ana yang mempunyai
masalah antara lain : anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak
terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan terutama kepada anak-anak
jalanan.
Asuhan itu sesuai
dengan Pasal 6 (2) PP No.2 Tahun 1988 diberikan antara lain dalam bentuk:
·
Penyuluhan/bimbingan dan bentuk lainnya
yang diperlukan
·
Penyantunan dan pengentasan anak
·
Pembinaan/peningkatan derajat social
anak
·
Pemberian/peningkatan kesempatan belajar
·
Pembinaan/peningkatan keterampilan
Pelaksanaan asuhan
tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar panti social, yang lembaga atau
kesatuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana yang memberikan pelayanan
sosial berdasarkan profesi pekerja sosial maupun luar panti (Pasal 1 ayat 6 PP
No.2 Tahun 1988).
Sementara bantuan yang
ditujukan kepada anak yang tidak mampu berupa materi dalam rangka usaha
pemenuhan kebutuhan pokok anak, bantuan jasa dalam rangka usaha pembinaan dan
pengembangan untuk mengarahkan bakat dan keterampilan, bantuan fasilitas,
diberikan dalam rangka usaha mengatasi hambatan-hambatan sosial (pasal 7).
Bantuan ini dapat diberikan secara langsung kepada anak melalui orang tua/wali,
yang tata cara pemberian dan penanganannya di atur oleh Menteri Sosial. Seperti
salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 1981 tentang Organisasi Sosial yang dapat Menyelenggarakan Usaha
Penyantunan Anak Terlantar.
Kemudian mengenai
Pelayanan khusus sebagai upaya yang dilaksanakan untuk memulihkan dan
mengembangkan anak cacat agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik
secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 ayat 5 PP No.2 Tahun 1988)
meliputi : bimbingan, pemenuhan kebutuhan pokok, pemberian keterampilan,
pendidikan, pemberian bantuan/fasilitas dan pembinaan lanjutan.
·
Landasan Hukum : Tanggung Jawab Orang
Tua Terhadap Kesejahteraan Anak
Bab III Undang-undang
No.4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua terhadap
kesejahteraan anak. Dimana dikatakan pertama-tama yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan anak, adalah orang tua (Pasal 9). Orang tua yang terbukti
melalaikan tanggung jawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhanya sebagai orang
tua terhadap anak (Pasal 10 ayat 1). Apabila hal ini terjadi, maka di tunjuk
orang atau badan sebagai wali.
Pencabutan kuasa asuh
ini tidak menghapuskan kewajiban orang tua tersebut untuk membiayai sesuai
kemampuan penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Pencabutan dan
pengembalian kuasa asuh orang tua ini ditetapkan dengan keputusan hakim. Jadi
jelasnya pencabutan kuasa asuh itu harus ditunjukan kepada pengadilan, demikian
juga pengembaliannya. Bentuknya adalah permohonan penetapan hakim. Untuk itu
harus ada pihak yang mengajukan permohonan misalnya salah seorang dari
keluarga. Misalnya dalam keadaan orang tua sudah bercerai pemohon boleh ayah
atau ibu si anak, atau juga boleh keluarga dalam garis lurus
·
Landasan Hukum : Peran Serta Masyarakat
dan Pengawasan
Menurut Pasal 12 PP No.
2 Tahun 1988, masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan
serta dalam melaksanakan usaha kesejahteraan anak yang dapat di selenggarakan
oleh badan sosial atau perseorangan. Untuk itu pemerintah dapat memberikan
bimbingan, konsultasi, dorongan dan bantuan. Pemberian bimbingan dan konsultasi
dimaksudkan agar pelaksanaan usaha kesejahteraan anak oleh masyarakat sejarah
dengan kebijaksanaan pemerintah. Pemberian dorongan dan bantuan dimaksud untuk
memberikan dorongan agar masyarakat dapat lebih meningkatkan peran sertanya
dalam usaha mewujudkan kesejahteraan anak.
Sangat penting untuk
menjadi perhatian apabila ternyata usaha penyejahteraan anak sebagai salah satu
upaya pengentasan anak jalanan dari eksploitasi ternyata mengalami hambatan
dalam implementasinya, maka pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang
dilakukan oleh Menteri sosial haruslah bersifat responsif.
Andai kata anak-anak
jalanan itu tidak dapat dikembalikan ke dalam sistem sosial yang wajar (orang
tua, panti asuhan, atau masyarakat normatif pada umumnya ) sebagaimana terjadi
dalam banyak kasus, atau karena alasan lain seperti kurangnya tempat
penampungan untuk mereka, maka tidak ada cara lain jikalau ingin tetap peduli kecuali
dengan memperhatikan anak-anak jalanan itu dalam keadaan mereka yang
sebenarnya, atau senyatanya. Anak-anak jalanan perlu tahu dunianya sendiri yang
keras, peluang-peluang yang sempit dan tantangan-tantangan yang berat, agar
dapat mempertahankan hidupnya. Untuk itu diperlukan Lembaga Swadaya Masyarakat
yang mampu memberdayakan (empowering) mereka. Tetapi upaya ini amat sulit,
membutuhkan tenaga relawan yang banyak dan tentu saja biaya. Tidak heran
apabila mereka bergabung dan mungkin juga menerima bantuan dari masyarakat luas
yang peduli pada pemberdayaan ini.
Hingga pada akhirnya banyak LSM yang
mendirikan sekolah jalanan (street educators). Seperti yang terjadi di bawah
ini :
1.
Di Peru
UNICEF
mendanai pendidikan jalanan yang telah dipelopori di Amerika latin walaupun
saai ini pendidikan anak jalanan telah berhasil ditiru diseluruh dunia. Di Peru
UNICEF mendanai pendidikan anak jalanan yang dilaksanakan oleh lembaga nasional
untuk kesejahteraan kelurga. 54 pendidik telah melakukan kontak dengan anak-anak
jalanan, membantu mereka kembali ke sekolah, membantu dalam memperoleh
perawatan kesehatan dan mendukung usaha mengintegrasikan mereka dengan keluarga
mereka. Sejauh ini mereka telah berhasil mengintegrasikan kembali 1200 anak
kedalam sekolah.
2.
Di Philiphina
Organisasi-organisasi
Non Pemerintah berpartisipasi dalam proyek nasional pada anak jalanan.
Pendidikan yang dikembangkan adalah pendidikan alternatif untuk anak-anak
jalanan yang bekerja di jalanan dan di perkotaan.
IV.
KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Anak jalanan merupakan fenomena
perkotaan yang kompleks dan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya.
2.
Faktor yang menyebabkan lahirnya anak
jalanan yaitu faktor tuntutan berupa kemiskinan.
3.
Anak jalanan juga memiliki hak untuk
mendapat perlakuan yang sama dalam bidang pendidikan, pers, beragama dan
lain-lain seperti anak-anak pada umumnya.
4. Anak memiliki hak yang harus diperhatikan dan
dipenuhi agar tumbuh kembangnya baik serta sosialisasinya pun dapat terlatih.
5.
Empat model penanganan anak jalanan
adalah Community Based, Street Based, Centre Based, dan Selther Based.
6.
Anak jalanan kerap menjadi korban
kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Barda, Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Gosita, Arief.1991. Masalah Perlindungan Anak.Liberty Press.
Yogyakarta.
Hardius,
Usman dan Nachrowi.2004.Pekerja Anak di
Indonesia : Kondisi, Determinan, dan Eksploitasi ( kajian kuantitatif).PT.Gramedia
Widiasarasa Indonesia. Jakarta.
Huraerah, Abu.2006. Kekerasan Terhadap Anak. Penerbit Nuansa. Jakarta.
Soeparman,
Marzuki.2000. Pelecehan Seksual.Pustaka
Pelajar.Yogyakarta.
Suharto,
Edi.2002.Masyarakat Madani: Aktualisasi
Profesionalisme Community Workers dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan.
STKS. Bandung.
No comments:
Post a Comment